Kegiatan Belajar 1; Modul Hakikat Manusia & Perkembangannya
Saat ini Anda tengah mempelajari Modul 1 pada Mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan. Setelah mempelajari modul ini adalah Anda dapat memperoleh informasi mengenai hakikat manusia dan perkembangannya, kegiatan ini merupakan aktivitas pembelajaran mandiri, jadi ibu harap agar anda membaca materi ini dengan seksama sampai tuntas.
URAIAN 1
A. PENGERTIAN HAKIKAT
MANUSIA
Manusia adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri. Dalam rentang ruang dan waktu, manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri.
Hakikat manusia dipelajari melalui berbagai pendekatan {common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi, politik). Dalam kehidupannya yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal, baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan sebagaimana dikemukakan di atas, pengetahuan tentang manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut pandang dalam melakukan studinya. Alasannya bukankah karena mereka semua adalah manusia maka harus diakui kesamaannya sebagai manusia? (M.I. Soelaiman, 1988).
Berbagai kesamaan yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia, sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya. Contoh: manusia adalah animal rasional, animal symbolicwn, homo feber, homo sapiens, homo sicius, dan sebagainya.
Mencari pengertian hakikat manusia merupakan tugas metafisika, lebih spesifik lagi adalah tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi berupaya mengungkapkan konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang secara prinsipil (bukan gradual) membedakan manusia dari makhluk lainnya. Antara lain berkenaan dengan: (1) asal-usul keberadaan manusia, yang mempenanyakan apakah ber-ada-nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil ciptaan Tuhan?; (2) struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa; (3) berbagai karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Pengenian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” Qrincipe de’etre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia, antara lain berkenaan denganasal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), sena karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (eontoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama).
B. ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pemah diciptakan oleh Tuhan YME. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka burnt ini. Kitab suci menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, sepeni Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran {consciousness) dan penyadaran diri {self-awarness). Oleh karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek). Selain itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada, manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya sendiri.
Terdapat dna pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu (1) Evolusionisme dan (2) Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melakukan ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu Creative Cause atau Personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968). Menurut Evolusionisme beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr., 1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsuf yang berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E. Frost Jr., 1957) dan Al-Ghazali (Ali Issa Othman, 1987).
Dari kedua pandangan di atas {Evolusionisme dan Kreasionisme), pandangan manakah yang dapat Anda terima? Coba bandingkan dengan keyakinan Anda!
Kita memang tak dapat memungkiri tentang adanya proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, namun atas dasar keyakinan agama tentu saja kita tak dapat menerima pandangan yang menyatakan beradanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri tanpa Pencipta. Di dalam metafisika khususnya dalam kosmologi, paham evolusionisme juga ditentang melalui apa yang dikenal sebagai argumen kosmologi yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada harus mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta termasuk di dalamnya manusia adalah sebagai akibat. Dalam pengalaman hidup kita menemukan adanya rangkaian sebab-akibat. Sebab pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lain, tidak berada sebagai materi, melakukan sebagai "Pribadi" atau "Khalik". Argumen semacam ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr(1991) dan Thomas Aquinas (Titus, et.a1., 1959).
Oleh karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan (M.I. Soelaeman, 1988), antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia merasakan dirinya begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhannya Yang Maha Besar dan Matta Tinggi. Manusia memiliki keterbatasan dan ketidakberdayaannya, manusia serba tidak tahn, sedangkan Tuhan serba Maha Tahn. Manusia bersifat fana, sedangkan Tahan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahn begitu pedih siksa-Nya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada diri manusia terhadap Tuhannya, tetapi di balik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu menggugah kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada peneiptanya. Selain itu, menyadari akan maha kasih sayangnya Sang Pencipta maka kepada-Nya manusia berharap dan berdoa. Dengan demikian, di balik adanyarasa cemas dan takut itu muncul pula adanya harapan yang mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil tindakan dalam hidupnya. Adapun ha1 tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan—Roh
Para filsuf berpendapat yang berkenaan dengan struktur metafisik manusia. Terdapat empat paham mengenai jawaban atas permasalahan tersebut, yaitu Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang mengatakan bahwa manusia adalah kesatuan badan-roh.
Materialisme. Gagasan para penganut Materialisme, seperti Julien de La Mettrie dan Ludwig Feuerbach benolak dari realita sebagaimana dapat diketahui melalui pengalaman diri atau observasi. Oleh karena itu, alam semesta atau realitas ini tiada lain adalah serba materi, serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia tunduk pada hukum alam, hukum kualitas, hukum sebab-akibat atau stimulus-respon. Manusia dipandang sebagai hasil puncak mata rantai evolusi alam semesta sehingga mekanisme tingkah lainnya (stimulus-respon) semakin efektif. Yang esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, dan urat syaraf). Segala ha1 yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia

Idealisme. Bertolak belakang dengan pandangan materialisme, penganut Idealisme menganggap bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya, ha1 ini sebagaimana dianut oleh Plato.
Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia, jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungannya dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungankepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).
3. Manusia sebagai Makhluk Individu Sebagaimana Anda alami bahwa manusia
menyadari keberadaan dirinya sendiri. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri
merupakan perwujudan individualitas manusia. Manusia sebagai individu atau
sebagai pribadi merupakan kenyataan yang paling riil dalam kesadaran manusia.
Sebagai individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan manHsia yang lainnya sehingga
bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom.
Sebagai individu, manusia adalah
kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Setiap
manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Perbedaan ini baik
berkenaan dengan postur tubiihnya, kemampuan
berpikirnya, minat dan bakatnya, dunianya, serta cita-eitanya. Pernahkah Anda menemukan anak kembar siam? Manusia kembar
siam sekalipun, tak pemah memiliki kesamaan dalam keseluruhannya. Setiap
manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing
secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya
sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan
masing-masing mampu menyatakan "inilah aku" di tengah-tengah segala
yang ada. Setiap manusia mampu menempati
posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki, memikirkan, bebas mengambil
sikap, dan bebas mengambiltindakan
atas tanggung jawabnya sendiri
(otonom). Oleh karena
itu, manusia adalah subjek
dan tidak boleh dipandang sebagai objek. Berkenaan dengan ha1 ini, Theo
Huijbers menyatakan bahwa "manusia mempunyai kesendirian yang ditunjukkan
dengan kata pribadi" (Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983); adapun Iqbal
menyatakannya dengan istilah individualitas atau khudi
(K.G. Syaiyidain, 1954). 4. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Dalam hidup bersama dengan sesamanya
(bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan
(status) tertentu. Di camping
itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya
masing-masing, merekajuga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup
bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula kesadaran
sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat
mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini, Aristoteles menyebut manusia
sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987). Terdapat hubungan pengaruh timbal balik
antara individu dengan masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan
menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui
perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa dunia
hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian
rupa sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu
(Soerjanto P. dan K. Benens, 1983). Sebaliknya, terdapat pula pengaruh dari
individu terhadap masyarakatnya. Masyarakat
terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat
akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya. Manusia memiliki inisiatif dan kreatif
dalam meneiptakan kebudayaan, hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan
bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu
yang nampak dalam bidang eksistensi setiap manusia. Manusia tidak terlepas dari
kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena
bersama kebudayaannya (C. A. Van
Peursen, 1957). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer menegaskan bahwa
"manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya,
seperti misalnya naluri atau akal budi, melakukan fungsi kehidupannya, yaitu
pekerjaannya, kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat
manusia" (C.A. Van Peursen, 1988). Sebagaimana dinyatakan di atas,
kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun
demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaanpun
dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Contoh:
dalam perkembangan kebudayaan yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan
disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis.
Martin Buber, antara lain mengemukakan keterhukuman manusia oleh
karyanya sendiri. Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi
akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian pula dalam bidang ekonomi,
semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi
akhirnyamanusiatenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).
Kebudayaan tidak bersifat statis,
melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia mengimplikasikan adanya
perubahan dan pembaharuan kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung pula oleh
pengaruh kebudayaan masyarakat atau bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan negatif dari
kebudayaan terhadap manusia,
masyarakat kadang-kadang terombang-amhing di antara dna relasi keeenderungan. Di satu pihak ada yang mau
melestarikan bentuk-bentuk lama {tradisi), sedangkan yang lain terdorong untuk menciptakan
ha1-ha1 baru {inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung
reda antara tradisi
dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan budaya (Ernst Cassirer, 1987). 6. Manusia sebagai Makhluk Susila Menurut Immanuel Kant, manusia
memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang
memberikan perintah mutlak categorical
imperative). Contoh: jika kita meminjam barang milik orang lain maka ada
perintah yang mewajibkan untuk mengembalikan barang pinjaman tersebut. (S.E. Frost Jr., 1957; P.A.
Van Der Weij, 1988). Sehubungan ha1 itu, dapatlah dipahami jika Henderson (1959) menyatakan: "Man is creature who makes moral distinctions. Only hHman beings question whether
an act is morally right or
wrong". Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan,
manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Hal ini sebagaimana dikemukakan Soren Aabye Kierkegaard: " Yes,
I perceive perfectly that there are two possibilities, one can do either this
or that"
(Fuad Hasan, 1973).
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma- norma moral
dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Oleh karena manusia mempunyai kebebasan memilih
dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian
moralatau tuntutan pertanggung-jawaban atas perbuatan 7. Manusia
sebagai Makhluk Beragama
Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi
manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan
perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun baik
dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang
geografis tempat manusia
berada. Keberagamaan
menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama.
Adapun yang dimaksud dengan agama ialah "satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu
yang mutlak di luar manusia;
satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya
mutlak itu; dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan
dan tata peribadatan termaksud di atas (Endang
Saifuddin Anshari, 1982). Seperti telah kita maklumi dari
uraian terdahulu, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui
utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk
dipikirkan oleh manusia agar manusia beriman
dan benakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama karena agama menyangkut
masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak
dalam kehidupan sesuai
agama yang dianut masing-
masing individu. Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinannya, sistem
peribadatan maupun pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tijihannya, hubungan
manusia dengan manusia sena hubungan manusia dengan alam. Dalam keberagamaan ini manusia
akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Tata
cara hidup dalam
berbagai aspek kehidupannya, jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya sebagai berikut. Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua
makhluk natural dan Supranatural,
manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat yang mulia.5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yang luar
biasa dan tidak dapat dijelaskan: kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas
sebagai sumber utama
yang bebas kepadanya dunia
alam world of nature,
sejarah, dan masyarakat sepenuhnya bergantung
serta terus menerus.
Manusia adalah makhluk yang
sadar. Ini adalah kualitasnya yang paling menonjol. Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yang
menakjubkan, ia memahami
aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yang tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa
masing- masing realita dan peristiwa.
Manusia adalah makhluk yang sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu- satunya makhluk hidup yang mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri, ia mampu mempelajari, menganalisis, mengetahui, dan menilai dirinya.
Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib semu quasi-miracolous yang memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya.
Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yang ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yang ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yang seharusnya. Idealisme adalah faktor utama pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yang ada. Kekuatan inilah yang selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat, dan mencipta dalam alam jasmaniah dan rohaniah.
Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul penanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yang ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yang lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatansuci karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.
Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yang bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yang independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yang tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengaeu pada sistem nilai.