LMS-SPADA INDONESIA
Fraksi Nasional
Ide pembentukan Fraksi Nasional dating dari Ketua Perkumpulan Kaum Betawi yakni Moh. Husni Thamrin yang juga seorang anggota Volksraad. Faktor pendorong ide tersebut :
Tujuan Fraksi Nasional adalah : Menjamin adanya kemerdekaan nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan jalan :
Kegiatan pertama dari Fraksi Nasional adalah memberikan pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang ditangkap dalam siding-sidang Volksraad terutama sebelum tokoh-tokoh PNI diadila bulan Agustus 1930. Peristiwa-peristiwa buruk yang dialami oleh kaum pergerakan bersumber pada artikel 169 swb, juga artikel 153 bis dan 161 bis. Oleh karena itu Thmarin mengajukan mosi kepada Volksraad terhadap artikel-artikel tersebut.
Sidang Volksraad tahun 1930 juga membicarakan masalah pertahanan dimana pemerintah berencana untuk meningkatkan pertahanan, namun keinginan ini ditentang oleh anggota anggota Fraksi Nasional dengan alasan peningkatan kekuatan keamanan memerlukan biaya yang besar sedangkan keuangan negara sangat buruk dan lagi tidak ada manfaatnya bagi masyarakt pribumi. Bagi Fraksi nasional daerah-daerah di seluruh Indonesia tidak perlu pertahanan dari serangan musuh karena mereka tidak merdeka karena daerah jajahan. Karena itu biaya tersebut sebaiknya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang tertekan akibat depresi ekonomi membuat fraksi nasional lebih banyak menyoroti maslah ekonomi masyarakat serta masalah pendidikan akibat adanya lahirnya peraturan tentang sekolah liar (wilde schoolen ordonantie). Pelaksanaan peraturan ini jelas akan menghambat kemajuan dalam bidang pendidikan yang juga dialami oleh golongan Cina, India dan Arab. Dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara peraturan ini ditentang keras.
PETISI SUTARJO
Gagasan petisi ini dicetuskan oleh Sutarjo Kartohadikusumo tahun 1936 yang juga sebagai Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumi Putra (PPBB). Landasan hokum yang digunakan sebagai dasar keluarnya petisi ini adalah Pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwaq Kerjaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Bagi Sutarjo, keempat wilayah itu memiliki derajat yang sama.
Isi Petisi : agar diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda dimana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya untuk menyususn suatu rencana yang isinya pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas-batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. pelaksanaannya akan diselenggarakan secara berangsur-angsur dalam waktu 10 tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh siding permusyawaratan itu.
Petisi ini menimbulkan pro dan kontra karena dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan. Pers Belanda seperti Preanger Bode, Java Bode, Het Bataviaasch Niewsblad, menuduh petisi ini sebagai “suatu permainan berbahaya”, revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Dalam perdebatan dsidang Volksraad, terdapat tiga pendapat yang berbeda :
Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 16 Nopember 1938 petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh ratu Belanda dengan alasan “bahawa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri”. SK ini disampaikan dalam siding Volksraad tanggal 29 Nopember 1938.
GAPI
Ide untuk embentuk federasi berbagai partai politik muncul kembali tahun 1939. Menurut M. Husni Thamrin pendiri federasi itu, pembentukan federasi itu awalnya atas anjuran PSII bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai- Partai Politik Indonesia (Bapeppi). Karena pembentukannya kurang lancer maka Parindra mengambil inisiataif untuk kembali membentuk Konsntrasi Nasional, dengan beberapa alasan :
Dalam anggaran dasar Gapi disampaikan :
Konfrensi pertama Gapi tanggal 4 Juli 1939 diikrarkan aksi Gapi dengan semboyan “ Indonesia Berparlemen”. Jadi tidak menuntut kmemerdekaan penuh, melainkan parlemen yang berdasarkan sendi-sendi demokrasi. Juga ditetapkan bahwa anggota yang dipecat oleh partainya maka secara otomatis ia juga keluar dari Gapi. Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang maka Gapi kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan-perubahan dalam pemerintahan dengan menggunakan hokum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi yaitu mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen menjadi mentri yang bertanggungjawab kepada parlemen. Kepada rakyat dan organisasi-organisasi politik, social, ekonomi yang tidak tergabung dalam Gapi supaya mendukung upaya Gapi. Resolusi ini dikirim kepada Gubernur Jendral, Volksraad, Ratu Wihelmina dan cabinet Belanda di London.
Tuntutan yang dialkuakn dengan aksi-aksi sangat gigih baik dalam maupun luar Volksraad akhirnya atas usul beberapa anggota Indonesia di Volksraad maka pemerintah berjanji akan membentuk suatu komisi yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan mengenai keinginan Indonesia, maka atas persetujuan pemerintah tanggal 14 September 1940 dibentuklah Commisie tot bestudeering van staatsrechtelijke hervormingen (komisi untuk menyelidiki dan mempelajariperubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi ini kemudian dikenal dengan nama Komisi Wisman karena diketuai oleh Dr. F.H. Visman.
Untuk menghindari ketidaksatuan pendapat menghadapi komisi Visman maka Gapi mengumumkan kepada anggota-anggotanya agar tidak memberikan pendapat apapun kepada komisi ini. Namun sikap gapi melunak setelah mendapat undangan dari komisi Visman, sementara itu beberapa anggota Volksraad mengajukan mosi yang lebih ringan yaitu keinginan kerjasama dengan pemimpin Indonesia dengan Belanda.
Untuk lebih memperjelas tuntutan maka dibentuk panitia yang betugas menyusun bentuk dan susunan ketatanegaran Indonesia yang diinginkan. Hasilnya kemudian disampaikan dalam pertemuan antara wakil-wakil gapi dengan Komisi Visman tanggal 14 Pebruari 1941 di Gedung Raad van Indie, Jakarta. Namun pertemuan ini tidak menghasilkan hal-hal yang baru sehingga ada anggapan Gapi tidak radikal lagi. Harapan kemudian diberikan kepada Mentri Jajahan Welter dan van Kleffens yang akan berkunjung untuk melihat keadaan Indonesia bulan April 1941. Kunjungan itu hanya menambah kekecewaan kaum pergerakan karena Walter tidak memberikan langkah-langkah bar uke arah perbaikan ketatanegaraan. Harapan itu semakin sirna dengan adanya pidato Ratu Wihelmina di London dan pidato Gubernur Jendral di Volksraad mengenai hari depan Indonesia. Oleh karena itu kondisi politik semakin gawat akibat bayanagn perang dunia ke 2 dimana pemerintah colonial memperketat izin mengadakan rapat dan rakyat disodori peraturan wajib bela negara (inheemse militia).