Cerpen Lampor karya Joni Ariadinata mengandung unsur intertekstualitas yang kuat. Intertekstualitas dalam karya ini dapat dilihat melalui rujukan terhadap mitologi dan cerita rakyat yang sudah ada dalam budaya Indonesia. Berikut adalah beberapa bentuk intertekstualitas yang dapat ditemukan dalam cerpen tersebut:
1. Rujukan terhadap Mitos Lampor:
"Lampor" dalam cerita rakyat Indonesia merujuk pada hantu atau makhluk gaib yang sering dikaitkan dengan fenomena supranatural, di mana lampor diyakini sebagai arwah yang gentayangan dan mencari jiwa manusia. Dalam cerpen ini, pengarang kemungkinan besar merujuk pada mitos tersebut, menggunakan elemen lampor sebagai simbol atau metafora untuk menggambarkan ketakutan, kematian, atau dampak dari peristiwa tertentu pada karakter-karakter dalam cerpen.
Keterkaitan dengan Cerita Rakyat: Penggunaan nama "Lampor" dalam judul dan cerita mengingatkan pembaca pada legenda-legenda urban atau cerita rakyat yang beredar di masyarakat, khususnya di daerah-daerah tertentu di Indonesia. Mitos lampor ini sering dikaitkan dengan cerita-cerita horor yang memperingatkan tentang bahaya atau konsekuensi dari perbuatan tertentu. Cerpen ini mungkin memodifikasi atau mengambil inspirasi dari mitos tersebut untuk memberikan konteks yang lebih relevan dengan cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang.
2. Pengaruh Gaya Penulisan Horor atau Supernatural:
Horor dan Psikologi: Gaya penulisan dalam cerpen Lampor yang penuh dengan ketegangan, atmosfer yang mencekam, dan fokus pada elemen supernatural adalah contoh intertekstualitas yang meminjam dari genre horor atau fiksi supernatural. Penggunaan unsur hantu atau makhluk gaib dalam cerita sering kali menjadi cara bagi pengarang untuk mengungkapkan ketakutan psikologis atau kritik sosial.
Gaya Penulisan Sejenis dalam Sastra Indonesia: Ada pengaruh dari karya sastra Indonesia lainnya yang menggabungkan elemen budaya lokal dengan unsur mistis, seperti dalam cerita-cerita karya Seno Gumira Ajidarma atau bahkan dalam karya-karya lain yang mengangkat tema sosial melalui lensa mistis.
3. Referensi Sosial dan Kultural:
Makna Sosial Lampor: Selain sebagai hantu dalam mitologi, lampor juga bisa dipahami sebagai simbol dari ketidakadilan sosial atau kondisi yang menghantui masyarakat. Penggunaan lampor sebagai simbol atau metafora bisa jadi merujuk pada kritik sosial terhadap kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat, seperti penindasan, kemiskinan, atau ketidakberdayaan.
4. Intertekstualitas dalam Hubungan dengan Sastra Lain:
Sastra Realisme Magis: Dalam cerpen ini, ada kemungkinan pengaruh dari sastra realisme magis, sebuah genre yang banyak menggabungkan unsur magis dengan kenyataan sehari-hari, seperti yang ditemukan dalam karya Gabriel García Márquez atau bahkan dalam tradisi sastra Indonesia yang menggali kehidupan sehari-hari dengan elemen supernatural. Ini memperkaya cerpen dengan makna yang lebih dalam, mengaburkan batas antara kenyataan dan imajinasi, serta memberikan kesan bahwa dunia mistis adalah bagian dari realitas sosial.
Kesimpulan:
Cerpen Lampor karya Joni Ariadinata mengandung intertekstualitas yang kuat melalui rujukan terhadap mitos lampor dalam cerita rakyat Indonesia, serta pengaruh dari genre horor dan sastra yang menggabungkan unsur supernatural dengan realitas sosial. Penggunaan elemen-elemen tersebut memperkaya cerpen dan memberikan dimensi lebih dalam, baik dari segi tema, simbolisme, maupun kritik sosial yang disampaikan. Intertekstualitas ini juga membantu pembaca untuk melihat hubungan antara cerita dalam cerpen dengan tradisi budaya yang lebih luas, menciptakan lapisan makna yang lebih kom
pleks dalam karya tersebut.